Ayah baru saja meninggal dunia. Beliau adalah seorang anak yatim dari
keluarga miskin, yang harus rela meninggalkan sekolah di saat masih
kelas dua SMP, hanya karena tak memiliki seragam sekolah. Selama ini
beliau harus bekerja di dua tempat sekaligus, siang dan malam, hingga
ia memasuki masa pensiun. Bahkan di saat pensiun pun beliau masih harus
melakukan satu pekerjaan. Tetapi, tetap saja tak ada cukup uang untuk
menghidupi keluarga kecil kami ini. Aku menyadari bahwa selama ini
kami hampir selalu tak memiliki uang bahkan untuk membeli
kebutuhan-kebutuhan pokok kami.
Ketika aku menjadi orang tua tunggal yang harus mengasuh seorang anak,
aku memutuskan untuk meneruskan akademiku. Harapanku, kelak aku bisa
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupku ketika tunjangan dari mantan
suamiku terhenti. Selama tahun 1973 sampai 1980, kami hidup dengan
tunjangan USD 500,0 per bulannya. Seringkali aku merasa heran, bagaimana
aku dan anakku bisa tetap melewati masa-masa sulit itu.
Di saat sulit seperti ini, maka setiap pengeluaran yang tak terduga
tentu jadi sesuatu yang menakutkan. Orang tuaku tak bisa banyak membantu.
Usiaku saat itu menginjak 28 tahun. Seringkali kendaraan tuaku mogok dan harus
masuk bengkel, atau mesin ketikku rusak dan harus diperbaiki. Padahal
aku membutuhkan keduanya untuk bisa segera lulus pada setiap tingkat
akademiku.
Di saat-saat seperti itu, ayah datang menolongku dengan sedikit uang
yang hanya cukup untuk memasukkan mobilku ke bengkel atau mereparasi mesin
ketikku.
Ketika aku lulus, aku baru terhenyak dan sadar bahwa, ternyata apa yang
dilakukan ayah dengan menjaga agar kendaraan tua dan mesin ketikku tetap
bisa berjalan dan digunakan adalah sebuah sumbangsih yang luar biasa
besar.
Itu memang bukan jumlah uang yang besar, tetapi aku yakin, memang itulah
yang sungguh-sungguh aku perlukan di saat itu.
Kita tak pernah tahu cinta orang tua kita pada kita hingga kita menjadi
orang tua.
(Henry Ward Beecher)
Suka dengan artikel ini? [Bagikan artikel ini ke teman2-mu di FACEBOOK. Klik disini]