Di tengah keprihatinan akan merebaknya praktik pornografi-pornoaksi berikut segala dampaknya, kemunculan gagasan untuk memberlakukan Rancangan Undang Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) ternyata tidak lantas mendapat sambutan positif dari masyarakat. Di samping pernyataan dukungan, suara penolakan pun tak kalah santer menyeruak ke permukaan. Berbagai alasan dikemukakan, mulai dari yang tidak logis, pragmatis hingga alasan yang ideologis. Mengejutkan! Associated Press (AP) pernah menyatakan bahwa Indonesia akan menjadi "surga pornografi berikutnya" (the next heaven of pornography). Indonesia sebagai surga pornografi terbesar kedua setelah Rusia. Jika melihat kasus-kasus pornografi dan pornoaksi yang mengemuka selama ini, temuan AP itu ada benarnya. Bisa jadi, jalan hidup menomorsatukan sekularisme adalah segala penyebabnya. Indonesia jauh lebih serius dari Thailand, karena di Thailand sudah ada penataan yang sangat serius.
Saat ini, di Thailand industri pornografi ilegal sudah semakin sempit. Nah, Indonesia dianggap sangat bebas, terutama kalau bicara masalah VCD porno. Juga karena Indonesia yang tidak mengatur adanya regulasi internet sama sekali.
Tanpa kita sadari, banyak cap negatif dialamatkan publik dunia terhadap Indonesia. Mulai dari negara dengan jumlah koruptor terbanyak hingga negara yang menjadi lahan paling subur bagi praktik pembajakan. Gelar memalukan itu terus bertambah dengan disebutnya Indonesia sebagai surga dunia kedua untuk pornografi setelah Rusia.
Berikut beberapa argumentasi yang sering dilontarkan para penolak RUU APP:
1. Pemberlakuan RUU APP akan memasung kreativitas dan melanggar kebebasan berekspresi.
Ketika seni diartikan sebagai hasil cipta karsa budi manusia dan kreatif dalam berkesenian berarti seseorang mampu menggali inovasi baru dalam aspek berkesenian, apakah eksploitasi ketelanjangan dan erotisme atas nama seni sejalan dengan keluhuran budi manusia dan diakui sebagai sebuah karya inovatif, bahkan menjadi standar kreativitas dalam berkesenian dan berkebudayaan? Jika demikian, alangkah naïf.
Betul, kreativitas dalam bidang seni dan budaya tidak boleh dibunuh. Akan tetapi, tetap saja keduanya harus diarahkan, jangan sampai dengan dalih kreativitas lantas hasil-hasil kesenian dan budaya malah merusak tatanan kehidupan bermasyarakat yang senyatanya sudah jatuh ke kubangan krisis. Bukankah tidak bisa dibantah jika ketelanjangan dan erotisme-yang mereka klaim sebagai produk seni bebas nilai-yang selama ini bebas terjaja di pinggir-pinggir jalan, bahkan sudah menerobos masuk ke setiap rumah melalui media tv, telah menginspirasi maraknya dekadensi moral di masyarakat? Ataukah ini belum cukup hingga mereka atau anak-istri mereka terlebih dulu harus merasakan dampak dari kejahatan ini?
Seni akan menjadi terhina jika kepribadian pencipta seni itu terhina. Pornografi, pornoaksi, dan pelecehan agama (melalui karikatur) merupakan salah satu contoh kehinaan itu. Mereka bukan berhasil mendongkrak ekonomi (bisnis) pribadi dan kelompok, tetapi justru dipatahkan oleh kekuatan ekonomi tersebut. Akhirnya, menghambakan diri ''atas nama seni", tetapi bukan kesejatian seni itu sendiri.
Kesenian bukan hanya kebebasan berekpresi. Kebebasan berekspresi pun tidak bisa berjalan tanpa teman. Estetika, etika, kebudayaan, dan norma-norma menjadi begitu akrab dengan keduanya. Omong kosong membebaskan kesenian dan kebebasan berekspresi dari semua itu jika tidak menginginkan anarkis. Kekacauan-kekacauan akan terlahir begitu dahsyat seandainya kesenian dan kebebasan berekspresi bersifat individu, liar dan buas. Jauh daripada itu, kesenian juga mengajarkan kita untuk lebih halus, lebih bijaksana, menimbang-nimbang, dan menjaga masyarakat dari kebiadaban. Jangan membatasi tentang makna seni itu sendiri, seolah-olah seni itu hanya sebatas menontonkan dan menonjolkan kebagusan tubunya bukan lebih kepada substansi seni itu sendiri. Mari kita lebih sadar untuk menghasilkan karya seni yang terhormat.
2. Pemberlakuan RUU APP akan mematikan Industri Pariwisata.
Pertanyaannya, pariwisata macam apa yang bisa tersingkir jika undang-undang anti pornografi dan pornoaksi diberlakukan? Tentu pariwisata yang menawarkan pornografi dan pornoaksi!
Dalam tataran Kapitalisme, industri semacam ini memang dianggap absah dan bahkan dianggap sebagai bagian dari kegiatan ekonomi bayangan (shadow economic) yang memberikan keuntungan yang sangat besar. Akan tetapi, dalam konteks kemanusiaan dan kemasyarakatan, keberadaannya tentu sangat merugikan masyarakat, seperti menimbulkan eksploitasi kemanusiaan yang berdampak pada merebaknya children and women trafficking, dan menghasilkan dampak lanjutan berupa merebaknya penyakit-penyakit sosial dan seksual semacam AIDS (penderita AIDS diBali akhir 2004 berjumlah 496 orang) dan lain-lain. Semua ini dalam jangka panjang bisa menghancurkan keberadaan generasi mendatang. Lihatlah Thailand yang mempunyai industri pariwisata terbesar di asia tenggara mulai aktif mempersempit dan membatasi industri pornografi ilegal karena sadar akan bahaya AIDS yang semakin mewabah. Jika demikian faktanya, masih layakkah industri kemesuman dipertahankan, sementara kita memiliki sekian banyak potensi pariwisata yang layak jual dan bisa dikembangkan, seperti keindahan panorama alam, keragaman dan kelezatan makanan, dan lain-lain?
3. RUU APP akan memberangus kebudayaan.
Untuk menjawab argumentasi ini tentu harus disepakati terlebih dulu kebudayaan seperti apa yang harus dipertahankan dan harus dilestarikan? Semestinya semua sepakat bahwa kebudayaan yang layak dan harus dilestarikan adalah kebudayaan yang mencerminkan ketinggian martabat manusia yang selaras dengan nilai-nilai yang telah digariskan sang Pencipta manusia, yakni Allah Swt. Kebudayaan seperti inilah yang justru akan melahirkan peradaban yang tinggi yang akan memperkokoh kepribadian dan jatidiri sebuah masyarakat. Sebaliknya, budaya jahiliah dan terbelakang yang tidak sesuai dengan ketinggian martabat manusia dan nilai-nilai yang digariskan sang Pencipta-seperti budaya ketelanjangan yang mengumbar aurat dan mengeksploitasi perempuan-jelas tidak perlu dilestarikan.
Ditegaskan kepada delegasi aktivis yang dipimpin Gunnvor Berge itu, RUU APP akan menghormati budaya di setiap daerah. Ia mencontohkan, kebiasaan orang pedalaman di Papua yang menggunakan koteka tak akan dikategorikan sebagai pornografi. Begitu pula, kebiasaan orang Bali yang mandi di sungai. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBNU, Endang Turmudi, menambahkan, saat ini perkembangan pornografi di Indonesia sangat tak terkontrol dan memprihatinkan. Maka mendesak adanya UU APP.
Soal perempuan yang memakai kemben di Bali dan laki-laki memakai koteka di pedalaman Irian terancam kena hukuman, tak usah jadi alasan untuk menolak RUU. Sebab RUU itu, sebagaimana undang-undang lain, punya klausul-klausul yang mengecualikan. Pasal 34 mengungkap pengecualian itu, yaitu bagi pendidikan, ilmu pengetahuan, atau pengobatan. Sedangkan pelarangan terhadap pornoaksi, dikecualikan untuk Adat istiadat, Budaya kesukuan, dan Ritus keagamaan serta Kepercayaan. Juga kegiatan olahraga dan seni yang dilaksanakan di tempat khusus dan mendapat izin pemerintah. Alasan lain yang santer pula adalah bahwa RUU ini membunuh kreativitas seni dan olahraga. Padahal Pasal 34 juga telah mengecualikan kegiatan seni dan olahraga. Walaupun pengecualian kedua bidang ini dapat pula diperdebatkan.
''Seperti adanya pernyataan bahwa RUU APP melecehkan perempuan, mereka yang memakai kemben akan ditangkapi, misalnya,'' kata Tifatul. Ia mengatakan hal itu sebagai penyesatan, karena RUU itu memang tidak mengatur pelarangan kemben.
Rapat Pleno Panitia Ad Hoc (PAH) III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sepakat untuk mendukung proses penyusunan RUU APP. Namun, kata Ketua PAH III DPD, Faisal Mahmud, dukungan ini dengan pengecualian terhadap pasal yang terkait dengan seni dan budaya.
Pakaian tradisional Papua kata Hidayat, tidak termasuk dalam konotasi pornografi dan pornoaksi yang diartikan oleh RUU APP, demikian juga dengan adat istiadat di Bali mereka tidak masuk kategori. Hidayat menambahkan, RUU tersebut tidak dimaksudkan untuk memberantas hal-hal yang tidak termasuk kategori secara khusus mengeksploitasi seksualisme.
Inti dari RUU APP jelas Hidayat adalah memasyarakatkan budaya malu, karena bila budaya malu tersebut tidak lagi dimiliki, dampaknya adalah orang akan sangat terbiasa untuk melakukan tindak kriminal, korupsi, perdagangan manusia, dan lain-lain.
4. Pemberlakuan RUU APP tidak mendidik masyarakat, karena masyarakat melakukan perbuatan-perbuatan bermoral sekadar dilandasi keterpaksaan sebagai akibat diterapkannya hukum, bukan atas kesadaran pribadi.
Argumentasi ini jelas mengada-ada. Sebab, jika logika ini dipakai, negara tidak perlu mengatur apapun untuk meraih kemaslahatan masyarakat. Tidak perlu ada undang-undang yang mengatur tindak pidana/kriminalitas, undang-undang anti korupsi, undang-undang anti narkoba, peraturan lalu-lintas, dan lain-lain. Biarkan saja masyarakat dengan kesadarannya sendiri memilih untuk tidak melakukan tindak kriminal, korupsi, menggunakan narkoba dan lain-lain. Faktanya, hal ini tidak mungkin, bukan?
Pada kasus pornografi-pornoaksi, diakui bahwa dampak keduanya sudah sangat memprihatinkan. Karena itu, mau tidak mau, memang harus ada perangkat hukum yang berfungsi menekan tindak pornografi dan pornoaksi berikut berbagai dampak yang ditimbulkannya.
Bahwa proses penyadaran adalah penting memang tidak bisa dibantah. Bahkan tanpa kesadaran masyarakat, hukum sebagus apapun tidak akan ada artinya. Akan tetapi, keberadaan perangkat hukum di tengah-tengah masyarakat, termasuk yang menyangkut sanksi atas pelanggarannya, juga tidak dapat diabaikan. Sebab, salah satu fungsi hukum atau undang-undang-di samping untuk merekayasa masyarakat-adalah juga untuk mendidik dan membentuk kesadaran masyarakat supaya mereka tahu mana yang benar dan mana yang salah, mana yang bermoral mana yang tidak, dan seterusnya.
5. UU APP adalah undang-undang yang mubazir.
Menurut mereka, kalau tujuannya adalah menekan merebaknya pornografi dan pornoaksi maka tidak diperlukan produk hukum lagi semacam UU APP; tinggal diefektifkan saja undang-undang yang sudah ada seperti KUHP dan UU Pers.
Indonesia dianggap sangat bebas, terutama kalau bicara masalah VCD porno. Juga karena Indonesia yang tidak mengatur adanya regulasi internet sama sekali.
Sekarang yang kita punya menyangkut regulasi soal internet hanya berdasarkan KUHP pasal 282 tentang kesusilaan. Itupun terkait dengan larangan menyebarkan sesuatu yang melanggar susila dengan definisi yang amat longgar sekali. Selain itu, pasal 282 KUHP itu hanya menyebutkan larangan menyebarkan sesuatu yang membangkitkan birahi remaja.
Pasal-pasal dalam KUHP menyangkut kesusilaan itu tidak memadai, kalau sekadar untuk menghabisi segala bentuk pornografi tanpa pandang bulu, (pasal KUHP) itu bisa dipakai. Itupun jika polisinya mau. Tapi itu bisa kontraproduktif.
Apa raison d'etre dari RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi?
Rancangan yang dimasukkan Departemen Agama (Depag) dan dibantu Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu bernama RUU Anti-Pornografi dan Pornoaksi. Sementara yang dibuat Badan Legislatif (Baleg) namanya hanya RUU Anti-Pornografi.
Bahwa meskipun sudah ada UU yang mengatur masalah pornografi dan pornoaksi ini, seperti KUHP Pasal 281, 282, 283, UU Perlindungan Anak dan peraturan lainnya, tapi dengan makin maraknya pornografi dan pornoaksi, peraturan-peraturan di atas belum dianggap cukup dan tegas. Maka, RUU APP akan menjadi payung hukum yang sangat kuat.
Meski KUHP telah mengatur sanksi pidana asusila, namun dalam prakteknya pornografi/pornoaksi kian merajalela. Maka dibutuhkan UU yang lebih represif untuk menghentikan tindak pidana tersebut.
Pornografi dan Pornoaksi yang marak belakangan ini tidak saja membawa korban (victim) orang dewasa tetapi juga anak-anak. Dalam kaitan ini, UU Perlindungan Anak No. 23 tahun 2002 tidak menyinggung sedikit-pun tentang masalah pornografi anak (child-pornography). Pornografi adalah satu bentuk illicit materials yang dapat membahayakan perkembangan jiwa anak. Oleh karena itu, diperlukan suatu dasar hukum yang jelas untuk melindungi anak-anak dari masalah pornografi. Sebagai perbandingan, USA memiliki Child Obscenity and Pornography Prevention Act of 2002. Di Inggris ada Obscene Publications Act 1959, dan Obscene Publications Act 1964 yang masih berlaku sampai sekarang, yang mengatur dan membatasi substansi atau gagasan dalam media yang mengarah kepada pornografi.
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, tidak memiliki klausul yang cukup melindungi pers dan khalayak dari penyalahgunaan pornografi.
UU tentang Penyiaran No. 32 tahun 2002 juga tidak banyak mengatur dan melindungi khalayak penyiar dan pemirsa dari penyalahgunaan pornografi dan pornoaksi.
Di dalam sistem hukum Civil Law (European Continental), UU berperan dalam pembentukan hukum. Salah satu tujuan pembentukan hukum (UU) adalah untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara anggota masyarakat (pemutus perselisihan). Di sisi lain, tidak dapat dipungkiri bahwa seiring dengan kemajuan zaman, kehidupan masyarakat-pun mengalami perubahan. Oleh karenanya, hukum-pun harus mengikuti perubahan/perkembangan masyarakat agar hukum mampu menjalankan fungsinya tersebut. Artinya, jika hukum tidak diubah sesuai dengan perkembangan masyarakat-nya, maka hukum menjadi mati dan tidak mampu mengatasi masalah sosial yang terjadi/muncul dalam suatu masyarakat. Masalah pornografi dan pornoaksi mungkin dulu belum dianggap atau dinilai penting, namun demikian beberapa tahun belakangan ini, seiring dengan semakin berkembangnya teknologi informatika, masalah tersebut telah memberikan dampak social yang sangat signifikan terhadap kehidupan masyarakat Indonesia.
Dalam kaitannya dengan RUU ini, walaupun menurut sebagian orang masalah pornografi dan pornoaksi dapat diselesaikan oleh KUHP khususnya pasal 281 dan 282, namun apabila dicermati sebenarnya pasal-pasal tersebut pun masih memiliki beberapa kelemahan, yaitu tentang kriteria kesusilaan dan tentang ancaman hukuman. Kedua-nya dapat dijelaskan sebagai berikut:
* Kriteria Kesusilaan.
KUHP tidak memberikan definisi atau batasan yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan 'kesusilaan'. Tentu saja hal ini menyebabkan terjadinya 'multitafsir' terhadap pengertian kesusilaan, dengan kata lain, kapan seseorang disebut telah bertingkah laku susila atau asusila (melanggar susila). Terjadinya penafsiran yang berbeda terhadap suatu ketentuan dalam UU seharusnya tidak boleh terjadi karena ini menyebabkan ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, jika RUU Pornografi dan Pornoaksi justru memberikan pengertian dan batasan yang lebih jelas atau detail, seharusnya secara logis hal ini dapat dibenarkan. Logikanya, suatu peraturan yang lebih jelas atau detail justru akan menghindari terjadinya ketidakpastian hukum dan menghindari implementasi yang sewenang-wenang dari aparat penegak hukum (non-arbitrary implementation).
Dan jika kepastian hukum justru dapat tercapai dengan adanya RUU ini, maka seharusnya kita mendukungnya.
* Ancaman Hukuman.
Ancaman hukuman yang terdapat pada pasal 281 dan 282 KUHP sangat ringan. Kedua pasal tersebut yang dianggap oleh sebagian orang sudah cukup untuk mengatasi atau mengantisipasi masalah pornografi dan pornoaksi, tidak akan memberikan dampak apapun pada pelakunya. Ancaman hukuman tersebut tidak memiliki nilai yang signifikan sama sekali untuk ukuran sekarang.
Berdasarkan paparan di atas, sebenarnya RUU APP ini memiliki cukup legitimasi baik dari sisi yuridis maupun sosiologis.
Bahwasanya pornografi memang harus diatur dengan UU karena ketidak digdayaan UU yang ada. Juga, karena di negara-negara barat saja pornografi memiliki pengaturan tersendiri, utamanya anak-anak dan kaum perempuan dari penyalahgunaan pornografi dan pornoaksi.
Selama ini, langkah polisi memang selalu terhadang oleh kurangnya regulasi yang mengatur tentang pornografi. Memang benar, pelarangan tentang penayangan atau memperjualbelikan materi yang memiliki unsur membangkitkan hawa nafsu diatur telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Setidaknya, ada lima pasal dalam KUHP yang mengatur kejahatan kesusilaan. Namun, semua pasal itu dinilai kabur ketika dibenturkan pada masalah definisi dan batasan pornografi.
Media - media sangat berperan dalam meramaikan pornografi.Walaupun sudah ada undang - undang No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran tugas dan kewajiban Komisi Penyiaran diantaranya menjamin masyarakat mendapatkan informasi yang layak, ternyata dalam kurun waktu 3 tahun sejak diberlakukanya undang-undang tersebut terjadi 62 pelaporan pelanggaran. Coba kita lihat, dengan adanya undang-undang saja mereka tidak jera apalagi kalau tidak aturan yang formal, jelas-jelas akan lebih parah lagi.
Sementara itu, tambahnya, pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) belum cukup jika digunakan untuk menindak pornografi dan pornoaksi di media massa."Pasal-pasal dalam KUHP itu tidak spesifik untuk pornografi di media massa,"
Masalahnya, tutur Husna, penegakan hukum keempat undang-undang itu mandek. Sejumlah pasal di KUHP memandatkan polisi untuk menegakkan hukum atas pelanggaran pornografi, namun kenyataannya nihil. Pornografi dan pornoaksi tak diatur secara spesifik dalam KUHP. Selama ini, polisi menggunakan Pasal 281-284 KUHP. Namun di dalamnya tidak ada definisi asusila. Lalu polisi mengambil Undang-Undang Kepolisian Nomor 2 Tahun 2002 yang bersifat preventif. "Tapi tindak lanjut dari itu tak bisa," katanya. Demi menegakkan moral bangsa, ia memandang perlu dibuat perundangan khusus seperti RUU APP.
Kesimpulannya, perangkat hukum yang ada seperti KUHP dan UU Pers selama ini tidak berdaya dalam menjerat kasus-kasus pornografi dan pornoaksi. Karena itu, adanya UU APP ini justru harus kita pahami sebagai pelengkap atau penguat UU yang sudah ada.
6. Tubuh manusia adalah keindahan yang merupakan anugerah dari Tuhan sehingga perlu disyukuri dan 'dinikmati'.
Selain lucu, argumentasi ini jelas merupakan logika orang yang 'kurang iman' dan 'kurang ajar'. Seharusnya ketika menyadari bahwa tubuh adalah keindahan yang diciptakan sang Pencipta maka harus dipahami juga bagaimana sang Pencipta mengatur tubuh manusia. Jelas, Allah Swt.-Pencipta dan Pemilik manusia Yang Maha tahu, Maha adil, dan Maha sempurna telah melarang kita memamerkan keindahan tubuh di tempat umum, dengan memberikan batasan-batasan aurat tertentu, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Allah Swt., misalnya. memerintahkan kaum wanita untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali muka dan telapak tangan dengan kerudung/khimar (QS an-Nur [24]: 31) dan jilbab atau pakaian sejenis abaya/gamis yang longgar dan tipis (QS al-Ahzab [33]: 59) ketika mereka hendak ke luar rumah. Demikian pula bahwa Allah Swt. telah memerintahkan pada kaum laki-laki untuk menutup auratnya, sekalipun dengan batasan yang berbeda, minimal bagian tubuh antara lutut dan pusar. Taat terhadap perintah seperti inilah yang justru merupakan manifestasi rasa syukur kita kepada Allah, sang Pencipta.
Ikhtisar
- Akal sehat mengatakan perempuan yang tampil di depan umum dengan membukakan buah dada, paha, punggung, sekitar pusar, dan sekitar ketiak, adalah tindakan yang memancing nafsu seks laki-laki biasa/normal.
- Soal ada yang tidak terpancing nafsu seksnya oleh 'tontotan gratis' itu karena sudah biasa atau alasan lain, adalah kondisi yang tidak normal. Hukum tak dapat didasarkan pada alasan-alasan yang tidak normal.
- 'Tontonan gratis' tersebut, bagi banyak orang merupakan rangsangan yang memicu berbagai tindakan perkosaan, zina, incest, dan bahkan perkosaan terhadap anak-anak. Jadi tak bisa dikembalikan kepada ''kesalahan pikiran'' yang melihatnya.
7. UU APP mencerminkan tirani mayoritas atas minoritas.
Tudingan ini sebenarnya dipicu oleh kenyataan bahwa mayoritas desakan terhadap pemberlakuan RUU APP datang dari umat Islam, sekalipun jika RUU APP dan revisinya dicermati, sebenarnya sama sekali tidak mengakomodasi hukum-hukum yang berasal dari Islam. Adapun bahwa Islam anti pornografi dan pornoaksi, maka hal tersebut tidak bisa dijadikan dalih bahwa UU APP adalah islamisasi, karena senyatanya agama samawi manapun menganggap pornografi dan pornoaksi sebagai perbuatan terkutuk. Kalaupun, misalnya, spirit dan materi UU APP ini memang mengadopsi hukum-hukum Islam secara utuh, juga tidak perlu muncul kekhawatiran akan terjadinya tirani tirani Islam atas non-Islam. Sebab, syariat Islam justru untuk kemaslahatan manusia secara keseluruhan. (Lihat: QS al-Anbiya [21]: 107).
Anggota Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi DPR, KH Achmad Thoyfoer MC menegaskan, usulan RUU APP yang sekarang menimbulkan pro dan kontra bukan berasal dari kalangan Islam garis keras, melainkan dari Korps Wanita Indonesia (Kowani) yang di dalamnya terdapat 78 organisasi perempuan.
Penegasan Thoyfoer ini disampaikan dalam mengoreksi anggapan keliru bahwa usulan RUU APP berasal dari kalangan Islam, terutama dari kalangan Islam fanatik yang sering disebut garis keras.
Menurut Thoyfoer yang Ketua DPW PPP Jawa Tengah itu, bukan hanya Kowani yang menganggap perlu RUU APP, Kementerian Pemberdayaan Perempuan juga memasukkan regulasi ini dalam rencana strategi (Renstra).
Dengan demikian, alasan ini sebenarnya muncul bukan semata-mata untuk menolak UU APP, melainkan lebih merupakan upaya stigmatisasi untuk memojokkan Islam dan kaum Muslim ditengah maraknya wacana mengembalikan sistem Islam dalam kehidupan.
8. UU APP akan memicu disintegrasi (perpecahan) bangsa.
Argumentasi ini muncul menyusul penolakan tegas dan diperkuat dengan 'ancaman' pemisahan diri beberapa entitas masyarakat, seperti yang dilakukan masyarakat Bali dan Papua, yang merasa dirugikan dengan pemberlakuan UU APP ini. Padahal jika saja mereka berpikir atas dasar kepentingan bersama dan berpijak pada semangat yang sama, mereka akan menerima pemberlakuan undang-undang yang memang dibuat untuk kepentingan bersama, yakni kepentingan menyelamatkan bangsa dari kerusakan moral akibat merebaknya pornografi dan pornoaksi.
9. UU APP akan mendiskriminasi dan mengkriminalisasi perempuan.
Menurut mereka, UU ini dibuat dengan paradigma yang bertumpu pada sudut pandang kepentingan laki-laki (bias jender) dan pada saat yang sama melanggar integritas tubuh perempuan, karena menganggap perempuan sebagai obyek yang harus diatur. UU ini juga dipandang berpotensi melahirkan kekerasan baru dan bersifat represif. Sebab, selain yang akan menjadi korban adalah kebanyakan perempuan, penerapannya juga akan menghancurkan budaya masyarakat. Mereka mencontohkan, pada kasus tertentu, penerapan pasal-pasal pornoaksi yang antara lain memuat pelarangan memperlihatkan payudara atau pantat di tempat umum ditengarai akan banyak menjerat kaum perempuan sebagai pelaku kriminal, karena tidak sedikit dari mereka yang terbiasa menyusui anaknya di muka umum, mandi di kali, berpakaian ketat dan 'terbatas', dan lain-lain.
Sesungguhnya, persoalan pornografi dan pornoaksi tidak bisa dipandang secara parsial, karena keduanya melibatkan banyak unsur, termasuk laki-laki dan perempuan. Pada kedua kasus ini kedua-duanya bisa bertindak sebagai pelaku sekaligus korban. Karena itu, keduanya sebenarnya berkepentingan untuk terlibat aktif dalam menyelesaikan problem bersama ini. Adapun ketika faktanya perempuan yang seolah banyak diatur, karena fakta pula yang menunjukkan bahwa sensualitas perempuanlah yang sering memicu perilaku amoral, sekalipun tentu tak bisa dilepaskan dari faktor cara pandang laki-laki atas sensualitas perempuan.
Adapun apa yang mereka sebut dengan budaya dan ekspresi masyarakat yang manusiawi seperti kebiasaan menyusui dan mandi di tempat umum, berpakaian ketat dan serba terbatas, dan lain-lain merupakan kebiasaan yang selayaknya diubah, sekalipun untuk itu negara harus menanggung konsekuensi berupa upaya penyadaran terus-menerus dan menyediakan berbagai infrastruktur yang memungkinkan masyarakat tersebut mengubah kebiasaan-kebiasaan 'buruknya' menjadi lebih baik.
Ketua Umum PP Muslimat Nahdlatul Ulama (NU) yang juga anggota DPR, Khofifah Indar Parawansa, tidak melihat adanya unsur eksploitasi perempuan dalam Rancangan Undang-Undang Antipornografi dan Pornoaksi (RUU APP). ''Saya sudah baca drafnya dan saya tidak menemukan itu (eksploitasi perempuan),'' kata Khofifah di Jakarta, kemarin (27/3).
Sikap senada juga ditunjukkan pucuk Pimpinan (PP) PP Muslimat NU, salah satu organisasi kewanitaan di bawah payung NU. Muslimat NU menilai bahwa pornoaksi dan pornografi bukanlah persoalan etika atau ahlak semata, melainkan masalah kemanusiaan. Oleh karena itu, Muslimat mendukung adanya RUU yang saat ini sedang dibahas oleh DPR tersebut guna mengantisipasi maraknya pornografi dan pornoaksi.
Dalam kesempatan itu, Prof Dr Masruroh Muhtar, dari PP Muslimat NU mengatakan bahwa dalam persoalan pornografi dan pornografi, perempuan sebagai manusia menjadi obyek eksploitasi. "Ini jelas persoalan kemanusiaan, bukan sekedar persoalan etika atau akhlak. Makanya, kita harus mendukung disahkannya RUU tersebut," terangnya.
RUU APP kata Hidayat tidak hanya untuk melindungi kaum perempuan, tetapi juga kaum laki-laki, dan seluruh masyarakat Indonesia, agar menjadi bangsa merdeka yang berdaulat, dengan tetap menghormati adat, budaya lokal.
10. Pemberlakuan UU APP berarti 'talibanisasi'.
Istilah talibanisasi sebenarnya mengandung stigmatisasi yang sangat keji, karena di dalamnya mengandung tudingan miring terhadap penerapan syariat Islam dan sosok negara Islam. Ironisnya, dalam kasus UU APP ini, pengaitan rencana pemberlakuan undang-undang tersebut dengan isu talibanisasi sesungguhnya salah alamat. Setidaknya ada 2 alasan: Pertama, sekali-lagi bahwa jika dicermati, materi dan paradigma yang mendasari penyusunan RUU APP faktanya sama sekali tidak mengakomodasi satu pun hukum Islam. Kalaupun ternyata mengadopsi hukum Islam dan diterapkan dalam kerangka sistem Islam, maka dapat dibuktikan bahwa Islam akan membawa kebaikan dan kesejahteraan bersama. Kedua, sistem Islam tidak bisa diidentikan dengan Taliban, dan sebaliknya Taliban bukan model ideal bagi sebuah sistem Islam, karena masih ada beberapa aspek hukum yang tidak sesuai dengan syariat Islam sekalipun secara verbal dinisbatkan pada Islam.
Catatan Akhir
Maraknya pornografi dan pornoaksi berikut segala dampaknya hanya merupakan salah satu bentuk kebobrokan yang dihasilkan dari sistem Kapitalisme sekular yang rusak, yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat saat ini. Karena itu, memberangusnya hanya mungkin diawali dengan mencampakkan sistem ini, dan menggantinya dengan sistem Islam yang diterapkan secara utuh dan menyeluruh. Artinya, pemberlakuan UU APP saja sebenarnya belum bisa menjamin penyelesaian persoalan pornografi dan pornoaksi.
http://hizbut-tahrir.or.id/main.php?page=alwaie&id=210
Suka dengan artikel ini? [Bagikan artikel ini ke teman2-mu di FACEBOOK. Klik disini]