Pada akhir - akhir ini sering kita melihat para publik figur sedikit demi sedikit kini sedang menuju ke jalan yang benar. Mereka kini sudah "berani" untuk berpenampilan unik dibandingkan hari - harinya yang tempo dulu. Kita lihat aktris ternama Ineke Koesherawati, Cici Tegal, Maudy Koesnady dan masih ada lagi, walaupun jumlah ini masih relatif kalah dengan orang - orang yang terus membombastis generasi muda dengan pornografi, tapi setidaknya memberikan apresiasi tersendiri bagi generasi muda khususnya kalangan aktris yang kerap kali dijadikan tiruan mulai dari gaya hidup, busana dan lain sebagainya. Belum lagi tentang maraknya musik alternatif seperti Nasyid yang kini mayarakat sudah tidak asing lagi plus munculnya dai-dai muda yang masyarakat lebih cepat menerima nasehatnya.
Nah, kondisi seperti ini adalah ancaman bagi orang - orang yang tetap menginginkan Indonesia dalam kebodohan dan keterpurukan, dimana mereka yang sudah menemukan hidayah akan dapat mempengaruhi perilaku anak bangsa agar senantiasa mengedapankan moral. Sekali lagi ini ancaman bagi mereka, karena mereka merasa pangsa pasarnya sedikit demi sedikit diambil alih dan ini ancaman bagi bisnis mereka. Akhirnya mereka membuat skenario global bahwa RUU APP ini harus dihadang. Mereka terus melakukan gerilya dengan menggunakan pendekatan ke tokoh - tokoh yang mereka anggap bisa bekerjasama untuk mendukungnya, didekatilah tokoh seperti Akbar Tanjung, Megawati dan tokoh seni lainnya, disamping itu pula mereka segera merapat kemedia, tindakan selanjutnya adalah mereka segera melakukan aksi protes terhadap RUU APP dengan menggunakan moment seperti hari Perempuan sedunia, dan ternyata ada beberapa mediapun menyambutnya dengan begitu antusias karena beberapa mediapun memiliki kepentingan. Lalu mereka munculkan opini yang mengesankan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia menolak RUU APP tersebut.
Padahal secara fakta, seperti yang diungkapkan oleh Ketua Pansus RUU APP Balkan Kaplale dari 167 organisasi dan elemen masyarakat diantaranya 144 organisasi mendukung pembahasan RUU APP yang tak setuju hanya sekitar 23 organisasi artinya hanya 10% yang tidak setuju. Kepanikan para pebisnis pornografi menjadikan mereka jadi tidak berfikir logis, yang pada akhirnya mereka membabi buta membuat logika - logika penolakan, seperti pernyataan bahwa RUU APP adalah upaya menjadikan Indonesia menjadi negara Arab, dan lebih lanjut mereka katakan bahwa RUU APP hanya sebagai batu loncatan menuju ke Syariat Islam dan yang lebih parah lagi mereka katakan bahwa RUU APP jelas akan membawa dampak penurunan pendapatan pada aspek Pariwisata, padahal Menteri Pariwisata sendiri setuju dengan adanya RUU APP.
Nampaknya mereka akan terus mengupayakan agar RUU APP tersebut dijadikan undang - undang, karena menurut mereka kalau sampai RUU APP ini dijadikan undang - undang maka mereka beranggapan habislah lahan pendapatan mereka, sebab peluang terbesar menurut mereka adalah penjualan pornografi di Indonesia. Belum lagi kalau kita lihat negara - negara yang memahami betul bahwa kalau kemudian hari bangsa Indonesia memiliki aset yaitu anak bangsa yang produktif dengan bingkaian prilaku yang ketimuran, maka kelak bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang kuta dan mampu mandiri. Kondisi ini sudah bisa dtangkap sejak lama oleh negara - negara sekuler seperti Amerika dan kroninya.Mereka memahami betul bahwa kebangkrutan negara Indonesia bukan semata - mata karena faktor ekonomi akan tetapi yang lebih mendasar adalah karena generasi muda kita tidak PD dengan budaya ketimurannya sendiri.
Sehingga kita lebih banyak mengambil contoh - contoh budaya barat yang notebene bukan malah akan memajukan akan tetapi justru akan menghacurkan bangsa Indonesia. Mereka juga memahami betul bahwa korupsi yang terjadi sekarang ini yang dilakukan para elit - elit tidak bisa lepas dari masa mudanya para elit tersebut, yang kerap kali disuguhi tonotnan pornografi dan pornoaksi.
Sementara itu, berkaitan dengan perdebatan terakhir soal RUU APP, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Tifatul Sembiring, menduga ada gerakan sistematis untuk menyesatkan opini publik. Tifatul menyatakan, dia mencermati, di antara para penentang RUU APP ada yang sengaja bergerak menyesatkan RUU itu sampai ke tingkat bawah, termasuk melibatkan para artis.
''Seperti adanya pernyataan bahwa RUU APP melecehkan perempuan, mereka yang memakai kemben akan ditangkapi, misalnya,'' kata Tifatul. Ia mengatakan hal itu sebagai penyesatan, karena RUU itu memang tidak mengatur pelarangan kemben.
''Saya khawatir, mereka yang menolak itu belum membaca materi aturannya,'' kata Tifatul. Ia menyarankan, agar para penentang itu membekali diri dengan membaca lebih dulu aturan itu, sebelum berpendapat. ''Lihat, pasal mana saja yang tidak disetujui, lalu kita bicarakan. Jangan belum apa-apa menolak membabi buta dan menjadi antikompromi,'' kata dia. Suara kalangan kampus, guru besar Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad, Deddy Mulyana, menduga penolakan terhadap RUU APP tidak lepas dari kepentingan global. ''Kepentingan dari luar itu sangat halus, tapi yang pasti ada,'' ujar Deddy, dalam perbincangan telepon dengan Republika, semalam.
Kepentingan itu tidak hanya sebatas ideologi kebebasan, melainkan kepentingan pragmatis ekonomi, yang dijalankan kaki tangan mereka di negara dunia ketiga. Salah satu bentuk representasi kelompok ini, menurut Deddy, terlihat jelas di berbagai media yang sangat getol menolak. Selain itu lagi, kelompok yang masuk dalam kategori kapitalis ini dapat saja diwakili para artis maupun seniman yang kehidupannya sangat bergantung pada pola hidup permisif. ''Pada akhirnya, ini soal periuk nasi,'' kata Deddy
Suka dengan artikel ini? [Bagikan artikel ini ke teman2-mu di FACEBOOK. Klik disini]