[EROPA/VATIKAN]
Nasihat untuk umatnya di kota Roma
Pada Hari Pemuda Sedunia 9 April di depan keuskupan kota Roma, Paus Benediktus XVI mengundang puluhan ribu kaum muda untuk "menghadirkan Allah di dalam masyarakat kita."
Uskup Roma itu bertatap muka dengan para pendengar mudanya dari Hari Pemuda setingkat keuskupan itu pada hari Kamis malam yang bertepatan dengan Hari Minggu Palem.
Pada pertemuan minggu lalu di Lapangan Santo Petrus, kaum muda mendengarkan sebuah diskusi secara spontan antara Paus dan beberapa anak muda.
Setelah pembacaan sebuah ayat dari Injil, seorang mahasiswa teknik berusia 21 tahun bernama Simone menanyakan Bapa Suci bagaimana mungkin mengartikan Alkitab sebagai Firman Allah dalam kehidupan sehari-hari.
"Injil Suci tidak boleh dibaca layaknya sebuah buku sejarah," seperti sesuatu yang klasik, jawab Paus, "melainkan sebagai Sabda Allah, yaitu, seperti dalam sebuah perbincangan dengan Allah."
"Sabda tidak dibaca dalam sebuah atmosfir akademis, melainkan berdoa dan berkata kepada Allah: 'Bantulah aku untuk memahami SabdaMu," kata Bapa Suci.
Paus Benediktus XVI kemudian menjelaskan bahwa seseorang dapat membaca Injil "didampingi oleh guru-guru dari 'lectio divina', seperti Kardinal (Carlo) Martini," katanya, menunjuk kepada pensiunan uskup agung kota Milano, seorang ahli kitab suci yang terkenal.
Paus menambahkan: "Adalah penting untuk membacanya dengan pendampingan yang erat dari Bangsa Allah," dalam komunitas Gereja, yang meneruskan Sabda ini
selama berabad-abad.
Cinta dan kebahagiaan
Anna, 19, seorang siswi kesusastraan, mengakui di hadapan Paus bahwa dalam dunia saat ini sangat sulit untuk menjalankan ajaran Gereja, terutama dalam hal moralitas seskual.
Bapa Suci dalam menjawab mengamati bahwa cinta yang membawa seseorang bahagia adalah cinta yang berkomitmen.
"Adalah indah," katanya, "untuk menemukan di dalan halaman-halaman utama dari Injil definisi dari cinta dan pernikahan: Laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya, mengikuti istrinya, dan mereka akan menjadi satu tubuh, hanya satu kehidupan."
"Adalah sebuah nubuat tentang pernikahan yang tetap identik dalam Perjanjian Baru," lanjut Paus Benediktus XVI.
Mengutip teolog jaman medioeva, ia menjelaskan bahwa dalam sebuah pengertian yang pasti, pernikahan adalah sakramen pertama, karena dibentuk oleh Allah dalam penciptaan: "Pernikahan adalah sebuah sakramen yang digoreskan dalam diri manusia itu sendiri."
"Oleh karenanya, pernikahan bukanlah sebuah penemuan oleh Gereja," tambah Paus. Ia melihat bahwa karena dosa asal, dan kelemahan manusia, permohonan akan sakramen kelihatan sulit.
"Untuk menjalankan vokasi ini kita membutuhkan sebuah 'hati yang baru', seperti kata Ezekiel," kata Bapa Suci. "Dalam pembaptisan, Tuhan menanamkan hati ini di dalam diri kita. Itu bukanlah sebuah transplantasi fisikal, namun serupa dengan transplantasi fisikal, perawatan dibutuhkan bagi transplantasi spiritual ini."
"Dengan cara ini, pernikahan dan kaish sayang antara seorang laki-laki dan wanita menjadi sesuatu yang mungkin, meskipun kelihatan tidak mungkin dalam iklim jaman kita ini," tambah Paus. Sebagai bukti, Bapa Suci berkata bahwa "dibalik fakta bahwa terdapat banyak contoh kehidupan, ada banyak keluarga-keluarga Kristiani yang hidup dengan gembira."
Kerasulan
Inelde, 17, menanyakan Paus apa yang ia harapkan dari kaum muda, dan ia menjawab bahwa sebaiknya bertanya, "apa yang Allah harapkan dari kalian."
Mencatat bahwa dunia sering kali hidup layaknya Sang Maha Kuasa tidak ada, Paus mengundang kaum muda "untuk membuat Allah hadir di dalam masyarakat dan kehidupan kita."
Terhadap pertanyaan "Seperti apa rupa Allah itu?", Paus Benediktus menjawab: "Ia adalah Allah yang telah menunjukkan wajahNya di dalam Yesus, yang mencintai kita sampai mati, dan yang telah mengalahkan kekerasan."
Paus mengundang kaum muda untuk "mengalami Allah ini, dengan teman-teman mereka dan pendampingan yang erat dari Gereja," menjelaskan bahwa kerasulan dibentuk di dalam hal ini.
Vittorio, 20, meminta Paus untuk mengatakan kepada para pendengarnya bagaimana ia memutuskan untuk menjadi seorang Imam dan untuk memberikan nasihat kepada kaum muda pikiran tentang kemungkinan mengkonsekrasikan hidup mereka kepada Allah.
"Saya dibesarkan dalam sebuah dunia yang sangat berbeda dengan saat ini, meski banyak hal serupa," kata Benediktus XVI. "Di satu sisi, adalah sesuatu yang normal pergi ke Gereja. ..... (Namun), ada rejim Nazi, yang menubuatkan sebuah dunia tanpa imam-imam. Dalam menghadapi budaya anti-manusia ini, saya mengerti bahwa Injil dan iman menunjukkan jalan yang benar kepada kita."
Paus Benediktus XVI berkata bahwa ia dibantu oleh dua elemen saat ia masih muda. Pertama-tama, "Saya menemukan keindahan dari liturgi, mencintainya karena ia menghadirkan kepada kita keindahan Allah dan membuka surga kepada kita."
Kedua, "Saya menemukan keindahan Allah dengan mengikatkan diri dalam perbincangan denganNya melalui teologi," tambahnya. "Terus terang, kesulitan-kesulitan tidak berkurang dan saya memikirkan apakah saya akan dapat menjalankan seluruh hidup saya di dalam membujang, menyadari bahwa teologi tidaklah cukup untuk menjadi seorang imam yang baik.
"Teologi itu indah namun diperlukan untuk menjadi sederhana dengan yang sederhana. Tuhan membantu saya dengan pendampingan teman-teman imam yang baik."
Kepada kaum muda yang memikirkan menjawab panggilan Tuhan kepada kehidupan berkonsakrasi, Paus menyarankan agar mereka memasuki "persahabatan dengan Allah, dan tidak hidup dengan buku-buku, melainkan menjalankan sebuah hubungan yang pribadi untuk memahami apa yang Ia katakan khususnya kepadaku."
Untuk mencapai ini, seseorang membutuhkan "keberanian dan kerendahan hati, kepercayaan diri dan keterbukaan untuk menanyakan diri sendiri apa yang Tuhan inginkan," kata Bapa Suci. "Ini adalah sebuah petualangan yang besar, namun hidup hanya dapat dijalankan dengan kepercayaan bahwa Tuhan tidak meninggalkan kita sendiri."
Ilmu pengetahuan dan iman
Akhirnya, Giovanni, 17, meminta Paus menjelaskan hubungan antara ilmu pengetahuan dan iman.
Paus Benediktus XVi menjelaskan bahwa matematika adalah sebuah ciptaan dari pikiran manusia, namun bahwa hal itu berhubungan dengan hukum obyektivitas alam. Namun demikian, ia meyakinkan bahwa terdapat sebuah kecerdasan yang mendahului matematika dan hukum-hukum alam, kecerdasan Allah, yaitu "sebuah rencana yang cerdas" yang telah menciptakan alam dengan hukum-hukum itu begitu pula dengan pikiran manusia.
"Ada dua pilihan," katanya. Allah ada atau tidak ada, yaitu, terdapat sebuah "pertimbangan kreatif" atau hanya sesuatu yang "tidak logis."
"Tidaklah mungkin untuk membuktikan satu atau kemungkinan lain," kata Paus. "Pilihan Kristianitas adalah yang pertama ... Yaitu, dibalik segala sesuatu ada sebuah kecerdasan yang luar biasa di mana kita dapat percaya."
"Kemudian kita dapat menanyakan diri sendiri betapa yang jahat sejalan dengan rasionalitas Sang Pencipta," Paus Benediktus melanjutkan. "Akan hal ini kita perlu melihat Allah lagi, yang wafat di salib untuk memahami bahwa alasan bukanlah hanya matematika. Dengan kepercayaan, kita dapat menguraikan sebuah pandangan dunia, yang menurutnya alasan penciptaan ini adalah Cinta dan, oleh karenanya, adalah Allah."
Setelah menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, Paus menyerahkan Alkitab secara simbolis kepada beberapa anak muda, berharap untuk menyerahkan kepada semua yang hadiri sebagai sebuah "pelita bagi langkah mereka."
Pada akhir pertemuan, Paus Benediktus XVI mengingat "sebuah saksi yang luar biasa akan Sabda Allah," Paus Yohanes Paulus II.
Didampingi oleh beberapa anak muda, Paus Benediktus XVI pergi berdoa di makam Yohanes Paulus II di bawah tanah Vatikan. Sementara itu, kaum muda di lapangan meneriakkan "Yohanes Paulus II."
(Sumber: Zenit, 9 April 2006)
Shirley Hadisandjaja
http://www.pondokrenungan.comSuka dengan artikel ini? [Bagikan artikel ini ke teman2-mu di FACEBOOK. Klik disini]