Komite Nasional Penanggulangan Masalah Merokok (KNPMM) atau National
Committee on Smoking Control menggugat pelaksanaan Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 81 tahun 1999 tentang pengamanan rokok bagi kesehatan.
Komite itu menilai pemerintah tidak tegas menegakkan PP itu. Diajukan
sebagai bukti, adanya desakan pihak-pihak tertentu yang mengembangkan
berbagai isu tentang dampak negatif yang dapat timbul dari PP itu. Demikian
ungkapan keprihatinan dan pernyataan sikap KNPMM, Jumat (17/3) di Jakarta.
Ketua Umumnya, Dr. Merdias Almatsier Sp.S(K) dan Sekretaris Umu, Dr. Achmad
Hudoyo Sp.P, menyebutkan PP Nomor 81 tahun 1999 nasibnya terkatung-katung.
Padahal PP itu adalah langkah positif. Dikatakan, banyak hal penting tentang
perlindungan kesehatan masyarakat yang diatur dalam PP itu tak diindahhkan
sama sekali.
Desakan pihak-pihak tertentu yang mengembangkan berbagai isu tentang dampak
negatif dari PP itu secara berlebihan, katanya, telah menyebabkan
kegelisahan sebagian buruh dan petani tembakau.
Pengalaman di negara manapun, katanya, menunjukkan peraturan pembatasan
rokok tidak pernah mengakibatkan penutupan pabrik-pabrik rokok dan
perkebunan tembakau sehingga menurunkan pendapatan negara.
Sebaliknya, karena tak ada ketegasan pelaksanaan PP 81/99, akibatnya 85 juta
penduduk Indonesia usia remaja saat ini akan menjadi perokok berat dan 12
sampai 13 juta diantaranya akan tutup usaia dalam usia setengah baya.
Karenanya, Komnas Penanggulangan Masalah Merokok mendesak pemerintah untuk
bersungguh-sungguh menengakkan PP itu. Sedang anggota DPR diminta
menjalankan fungsinya secara adil. Artinya, korban akibat merokok harus
dipikirkan, bukan hanya memikirkan kelompok-kelompok tertentu yang
diuntungkan oleh industri rokok saja. (jac)
PELAKSANAAN TAK SESUAI HARAPAN
Dokter Merdias Almatsier mengungkapkan perlunya ditegakkan kakwasan tanpa
rokok (KTR) di tempat-tempat umum, antara lain di restoran, tempat kerja,
sarana kesehatan, tempat ibadah, tempat pendidikan. Dasarnya PP 81 tahun
1999 pasal 23 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Menurut dia, KTR adalah salah
satu cara menyadarkan masyarakat tentang bahaya merokok.
"Sudah waktunya masyarakat mulai memperhatikan dampak merokok serta mau
peduli dengan hak orang lain yang tidak merokok. Karena itu di tempat-tempat
umum perlu adanya KTR untuk yang tidak merokok", katanya.
Namun karena nasib PP tersebut terkatung-katung pelakasanaannya
dilapanganpun tidak sesuai harapan. Apalagi tidak ada sanksi hukum bagi
pelanggarnya.
Tulus Abadi SH dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia yang ikut membidani
PP tersebut mengakui hal itu. "Kenyataannya di lapangan susah juga PP itu
ditegakkan. Padahal pasal 23 jelas-jelas menyebutkan adanya kawasan yang
bebas sama sekali dari asap rokok", katanya.
Tulus mengakui, masyarakat Indonesia sudah akrab dengan rokok. Buktinya
angka pertumbuhan perokok mencapai 44 persen dalam dekade ini. Tulus juga
menuding industri rokok yang dikatakan tidak perduli terhadap masyarakat.
"Mereka sama sekali tidak mau perduli mengenai dampak produknya kepada
kesehatan masyarakat dan lingkungan", katanya.
PP 81 pasal 24 menyebutkan, pimpinan atau penanggung jawab tempat umum dan
tempat kerja harus mengupayakan terbentuknya KTR. Kalaupun tempat-tempat itu
menyediakan tempat khusus untuk merokok, harus tersedia alat penghisap udara
sehingga tidak mengganggu kesehatan.
Sebelumnya Merias mengungkapkan pemasukan dari cukai rokok tahun 1990 saja
mencapai Rp. 2 triliun, namun ongkos kesakitan yang dialami masyarakat
akibat asapnya mencapai Rp. 14,5 triliun. (jac)
= what the smoker does to him/her self may be his/her business, =
= but what the smoker does to the nonsmoker is quite a different matter =
Suka dengan artikel ini? [Bagikan artikel ini ke teman2-mu di FACEBOOK. Klik disini]