[Jumat , 14/04/2006 18:29 WIB]
Cisarua, Bila RUU Informasi dan Trasaksi Elektronik (ITE) sudah disahkan menjadi undang-undang, maka setiap orang yang menyebarkan informasi elektronik berbau porno melalui komputer atau sistem elektronik akan diancam 2 tahun penjara.
Hal itu diungkap Ahmad Ramli, Staff Ahli Bidang Hukum Menteri Komunikasi dan Informatika. Dirinya merupakan pihak yang turut merancang RUU ITE tersebut.
"Jika seseorang menerima e-mail berbau pornografi lalu disebarkan, it's a crime. Tindakan itu bisa terjerat pidana dengan ancaman penjara dua tahun bila RUU ITE sudah disahkan," kata Ramli seusai acara Forum Komunikasi Wartawan Depkominfo di Puncak, Kamis (13/4/2006). "Tapi kalau orang itu hanya menerima saja dan tidak menyebarkannya lagi, ya dia tidak dikenai pasal itu," imbuhnya.
Larangan untuk menyebarkan hal berbau porno itu terdapat dalam RUU ITE Pasal 26 Bab VII yang berbunyi : "Setiap orang dilarang menyebarkan informasi elektronik yang memiliki muatan pornografi dan atau pornoaksi melalui komputer atau sistem elektronik.". RUU ITE hingga kini masih dalam pembahasan di DPR, dan diharap Ramli bisa bisa segera diputuskan menjadi UU pada 2006 ini.
Selain membahas masalah penyebaran pornografi, ada beberapa poin lain yang terdapat pada draft RUU ITE seperti: tentang ketentuan mengenai informasi dan dokumen elektronik, pembentukan lembaga sertifikasi elektronik, ketentuan tanda tangan elektronik, tata cara penyelenggaraan sistem elektronik, ketentuan nama domain berdasarkan prinsip pendaftar pertama dan penyelenggaranya, serta ketentuan kejahatan elektronik (cyber crime) beserta peraturan pidananya.
Sebelumnya, praktisi hukum ICT Watch Rapin Mudiarjo beranggapan banyak terdapat pasal-pasal yang tidak relevan pada draft RUU ITE dengan fungsi ITE sebenarnya, karena prinsip pembuatannya yang salah sejak awal. Sedangkan untuk membahas RUU ITE, praktisi teknologi informasi Priyadi Iman Nurcahyo pun membuatkan wadah berupa mailing-list.
Pentingnya UU ITE
Ramli sendiri merasa RUU ITE perlu segera disahkan menjadi UU karena hal itu dianggap penting untuk membangun kepercayaan setiap pihak dalam transaksi elektronik dan sebagai payung hukum bila terjadi masalah dalam transaksi itu.
"Saya heran sekali kalau orang nggak perlu UU ini. Padahal banyak yang punya kartu kredit untuk alat transaksi dan hanya ada slip kertas kecil sebagai bukti transaksinya. Namun, apakah slip itu bisa dijadikan bukti di pengadilan bila terjadi masalah nantinya?" ujarnya.
Menurutnya, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dalam ITE. Pertama, bagaimana agar transaksi elektronik itu diakui layaknya transaksi biasa. Kedua, bagaimana agar alat bukti elektronik bisa jadi alat bukti di pengadilan. Ketiga, soal penyalahgunaan komputer.
"Lalu, bagaimana orang mau percaya kalau kita sendiri nggak punya UU-nya? Ya, kita harapkan tahun ini bisa kelar," tandasnya. (rou) detikInet
Suka dengan artikel ini? [Bagikan artikel ini ke teman2-mu di FACEBOOK. Klik disini]